Friday, June 06, 2008

bakat besar dan pikiran besar; HUDAN HIDAYAT

Seorang penyair yang baik bukan seorang yang besar niatnya untuk membuat puisi yang baik, tapi besar bakatnya untuk menyerap hidup dan membentuknya kembali ke dalam kata-kata.

Kata-katanya bukanlah sekedar keterampilan yang datang dari otak yang keras untuk merebut makna hidup ke dalam seni kata-katanya, tapi dari kedalaman sumur jiwanya. Sebab sekitarnya hanyalah sampiran belaka dari jiwanya yang ingin menemukan sesuatu yang belum hadir dalam kata-katanya, hidup yang ditemukan.

Hidup itu sendiri mungkin mengguncangkan. Tapi begitu sampai ke dalam kata-katanya, guncangan-guncangan itu bisa saja menjadi lemas tak berdaya - ibarat penis yang mati setelah bersetubuh pagi tadi. Atau wajah pucat karena kekurangan darah.



Sebab begitulah puisi: bukan terutama datang dari kerja otak tapi dari kerja hati - passion. Otak kita bisa sangat terampil membuat esai, atau menyatakan diri ke dalam pemikiran yang terbentang. Tapi puisi? Tunggu dulu.

Bacaan tak banyak menolong kalau bakat kita memang kecil. Bacaan tinggallah sesuatu yang berselang-seling dalam tempurung. sebagai mercusuar yang menjadi angan-angan - angan untuk membuat puisi.

Niat untuk membuat puisi yang berbeda dalam dan terutama dari tradisi kepenyairan kita. Atau tradisi kepenyairan dunia. Dirinya diangankannya telah menjelma menjadi sesuatu yang berbeda, tapi kerja puisinya tak menampakkan ciri-ciri yang berbeda itu. Bahkan tak sampai pada kedalaman apa pun kecuali sekedar sentuhan kata-kata apa adanya, yang hampa makna. Hampa pula dari misteri kata-kata. Misteri kata-kata yang mewujudkan teka-teki hidup.

Teka-teki hidup adalah makna benda dan makna kata - makna itu sendiri, yang bergesekan. Benda dan makna memang sesuatu yang berselang-seling, ibarat malam dan siang tetapi dalam perputaran dan pergerakan seperti bola pingpong: cepat, bukan sesuatu yang merambat.

Kecepatannya sering membingungkan, dan sang penyair menyusunnya kembali ke dalam kata-kata dalam puisi.

Bolehlah penyair menyusunnya dengan otaknya, tapi otak saja tidak cukup. Otak hanya sekedar pengikat - pembentuk susunan. Yang menentukan akhirnya adalah teka-teki jiwanya sendiri.

Jiwanya yang seolah gua gelap dalam alam purba. Kegelapan yang ingin menghendaki terang, bukan malah nyemplung kembali ke dalam kegelapan.

Ah, kita harus berhadapan dengan regu tembak dulu, para lelaki yang urung menembak dan melepaskan kita dari lubang maut, sebelum bisa membuat puisi yang sebenarnya puisi.

Puisi yang berdarah. Puisi yang terentang antara hidup dan mati. Ada dan tiada. Puisi dari keringat hidup penuh warna. Memancarkan kekosongan. Tempat di mana jiwa dan raga kita menemukan oasenya. Dari hidup yang kadang bermakna kadang terasa sia-sia: untuk apakah semua makna itu, kalau bayang-bayang kematian mengintip sejak kita mencelat dari rahim ibu.

Baik kukutip puisi Tagore saja, puisi yang berupa cerpen pen yang menyerakkan dirinya ke dalam bait-bait puisi, terjemahan Abdul Hadi:

Jika gong berdengung sepuluh kali di pagi hari dan aku berjalan menuju sekolah, bertemulah aku setiap hari dengan penjual kelontong yang berteriak, "Manik! Manik batu!"

Tak ada yang memburu dia, tak ada jalan yang harus ditempuh, tak ada tempat ke mana ia harus pergi.

Aku ingin jadi penjual kelontong yang menghabiskan hari-harinya di jalanan sambil berteriak, "Manik! Manik batu!"

Jika sore hari pukul empat aku pulang dari sekolah, kulihat dari gerbang masuk tukang kebun sedang menyabit rumput di halaman.

Ia bekerja sesuka hatinya, mengotori bajunya dengan debu, berjemur di bawah panas matahari, kehujanan tanpa seorang pun melarangnya.

Aku ingin jadi tukang kebun yang bekerja sesuka hati, dan tak seorang pun melarangku.

Jika malam tiba dan ibu menyuruhku tidur, kulihat lewat jendela, peronda malam bolak-balik di gang.

Jalanan gelap, dan sepi, dan lampu pasar tegak bagai raksasa bermata merah di tengah kepalanya.

Peronda itu berjalan membawa lampunya bersama bayang-bayangnya, dan ia tak pernah tidur selama hidupnya.

Aku ingin menjadi peronda dan berjalan di jalanan sepanjang malam sambil menghalau bayang-bayang dengan lampuku.

Sumber: Millis Kompas

1 comment:

Anonymous said...

Ya, puisi yang indah menurut saya adalah bagaimana membuat puisi itu dapat menyentuh perasaan kita.

Chika
http://www.f-buzz.com